Selasa, 05 September 2006

Sang Pesakitan

Dia mencoba untuk tetap tak bersuara, sesekali menahan nafasnya. Tubuhnya diriutkannya sesurut mungkin menghindari terpaan cahaya yang mungkin mampir ke tubuhnya.
Dia berharap musuh karibnya yg mengakrabinya 4 tahun terakhir sudi berdamai dengannya, kali ini saja. Ya batuknya! Batuk telah menghisap kekuatannya dan mengubah dirinya menjadi gubuk reyot. Badannya lama kehilangan kesegaran. Kulitnya kusut membalut tulangnya yang besar-besar. Kegagahan yang membuat jumawa berangsur surut berganti bungkuk. Semua karena batuk keparat, pikirnya. Tak ingin ia menjadikan batuk sebagai musuh. Si batuklah yang menyerang dirinya dulu. Ia selalu ingin berdamai. Tak pernah si batuk mau peduli. Mau tak mau ia pun balas memusuhi si batuk. Kali ini saja! kali ini saja! Kita adakan genjatan senjata, setelah itu jika si batuk ingin menghabisinya dia tak akan ambil peduli.
Udara malam yang berhembus dan keringat dingin yang deras membasahi badan rapuhnya memberikan rasa dingin yang dahsyat. Pakaian yang dikenakannya tak banyak membantu menghangatkan badan karena basah oleh keringat. Dia mulai menggigil. Sebuah gigilan yang aneh, campuran antara dingin yang menusuk dan ketakutan. Gigilan yang tak ingin dirasakannya. Sekuat tenaga dia mencoba menguasai diri. Digigit bibir bawahnya agar tak terdengar gemeletuk gigi. Otot-ototnya tegang.
Seperti biasanya, dia ingin berhasil dan selamat tanpa kekurangan apapun. Dia akhirnya paham bahwa yang dilakukannya ini mengundang banyak bahaya yang mungkin saja mencederai tubuhnya dan mungkin merenggut nyawanya. Resiko yang tak pernah dikatakan Karman. Dahulu, Karman hanya bilang bahwa dia akan mendapatkan hasil yang bagus untuk menghidupi keluarganya dan yang dibutuhkan adalah setetes keberanian. Pekerjaan idaman untuk para pemberani, teringat oleh kata-kata Karman.
Dia tak ingin berpikir tentang Karman. Itu sudah cerita sebulan yang lalu. Sekarang, Karman tak pernah lagi nampak batang hidungnya, entah masih hidup atau sudah mampus, tak dipedulikannya. Yang ada dalam otaknya adalah istri dan ke-tiga anaknya. Aneh, dengan kondisinya ini, gerutuan istrinya ternyata dirindukannya, dia rela menukar saat ini dengan kemarahan istrinya. Senyuman dan tangisan anaknya turut mengantri ingin dirindui, yang sekonyong-konyong hadir dalam bayangan, menggantikan sosok gadis yang dahulu dipinangnya.
Angin malam merubung dan menusuk-nusuk tubuh reyotnya bagai ada serombongan semut merah lapar yang menggigiti badan. Pikirannya belum hendak melayang menjauh dari keluarga, tapi logika memaksanya untuk mempertahankan kesadaran juga kewaspadaan diri agar tak ada cahaya yang mampu melacak bayangannya.
Kaki kiri mulai terasa kesemutan akibat peredaran darah yang mampat. Ditahannya mati rasa pada kakinya mencegah gerakan sekecil apapun yang mungkin menimbulkan suara. Suara bisikan-pun dapat mengancam keselamatannya.
Otot-ototnya masih tetap tegang. Denyut nadi berkarap sapi. Nafas terus memburu bak kuda sehabis berpacu. Sekuat tenaga ditahannya batuk laiknya meriam tak kenal lelah menghantam dada.
Dadanya panas, serasa mau pecah. Tangan kirinya mencengkeram dadanya erat-erat. Badannya berguncang-guncang hebat dan gemetar. Nafasnya-pun kembali tersengal-sengal dalam setiap usaha melawan batuknya. Keringat dingin terus membanjir.
Pertahanannya akhirnya jebol. Batuknya tumpah bak air bah. Dia melolong; dilepaskannya semua beban di dada. Dadanya naik turun dengan cepat dan nafasnya tersengal-sengal. Semua ototnya tegang dalam beberapa menit sebelum akhirnya semuanya mengendur. Sebuah sensasi yang dinanti-nantikannya, walau harus ditukar dengan ancaman kepada dirinya.
Sejenak dimasukkannya udara ke dalam paru-parunya, banyak-banyak. Diaturnya nafasnya, pelan-pelan. Wajahnya sedikit lebih tenang. “Bangsat! Batuk keparat!” umpatnya perlahan. Kecemasannya menghebat. Kekhawatirannya akan ketahuan meracuni benaknya.
Angin malam yang menghampirinya turut membawa berita buruk. Si angin membisikinya suara-suara anjing. Ditajamkannya pendengaran. Keheningan malam menegaskan itu. Benar saja, dari kejauhan lamat-lamat terdengar salakan anjing yang bersahut-sahutan. Gonggongan yang bertentangan dengan harapannya semakin lama-semakin keras. Suara galak binatang yang dibarengi dengan derap langkah dan teriakan-teriakan. Ketakutannya menjadi nyata.
Suara campur aduk antara derap langkah, teriakan-teriakan, dan gonggongan semakin mendekat. Di telinganya, suara-suara itu terdengar mengerikan namun melankolis, membuat nya tertegun. Penasaran dan enggan beranjak. Orkestra yang membuat bergidik namun syahdu. Antara lantunan Adzan dan surah Yassin.
Dia menengadahkan kepalanya keatas. Matanya ikut memejam. Pikirannya sejenak menerawang. Tuhan, bisik ia. Kalau Kau benar-benar ada, mungkin inilah saat yang paling tepat bagi kita untuk bertemu. Aku segera tahu pesta apa yang menyambutku nanti. Semuanya demi mereka yang aku cintai. Tak lebih tak kurang. Jika tidak, mereka hidup dalam derita dan derita itu memuakkan!
Suara-suara itu semakin dekat. Ini kali ditambah dengan sinar lampu yang lewat menerjang gelap. Persis suasana pasar malam. Serba berisik dengan lampu yang disorotkan kesana-kemari.
Tiba-tiba, sinar lampu menerpa matanya dan menyilaukannya. Lamunannya buyar. Tangan kirinya diangkat untuk menghalangi silau. Suara-suara itu sudah sangat dekat dan semakin keras. Ada nada yang kental mengancam dalam orkestra itu. Tangan kanannya mulai meraba pistol di samping telapak kaki dan genggaman di pistolnya semakin erat.
Seluruh Cahaya lampu senter mendarat di tubuhnya, tangan kirinya kembali berusaha melindungi matanya. Suara-suara galak terdengar makin lantang. Suara-suara itu tak dapat ditangkap telinganya dengan jelas. Suasanana semakin gaduh. Ketegangan menjalari malam dengan liar.
“Peluruku tinggal enam lagi, brengsek! Menyerah berarti penjara dan penjara berarti kehilangan kebebasan yang membuatku menjadi manusia. Penjara adalah kesempatan bagi si kambing Rojali untuk menggoda istriku; Bangsat!”
“Satu, dua, tiga, mungkin dua belas-an orang yang dibawa Burhan ini kali. Aku kenal betul suaranya yang seperti kaleng dipukul. Burhan bukanlah pemberani, dia pernah mengompol waktu kutodongkan pistol ini di kepalanya. Sial! Kenapa dulu tak kuceraikan saja otak pengecutnya. Melawan atau lari, adalah kesempatan besar bagi Burhan untuk naik jabatan.” Seulas senyum pahit merekah dari wajahnya.
Ia melolong kembali. Badannya berguncang-guncang dan nafasnya berlarian tak teratur, persis anak kecil yang bermain. Wajahnya mengendur dan dikatupkannya ke dua kelopak matanya. Dicobanya mengingat wajah-wajah orang yang dikasihinya, entah, mengapa terasa begitu sulit. Dia tak mampu mengingat dengan jelas, yang sanggup diingatnya hanya serpihan-serpihan kenangan yang perlahan-lahan berkumpul menjadi satu dan berpendar, seperti kaca warni-warni tertimpa sinar matahari yang menerobosi liang-liang gelap nan sempit.
Seketika dia tersentak sadar saat mozaik itu membentuk wajah istrinya. “Ah! aku lupa belum sempat membelikan bubur ayam pesanannya semalam!”
Suara – suara itu terdengar semakin tak jelas ditelinganya, dan dia pun menghambur keluar.