Rabu, 17 September 2008

Seputar Menonton dan Tontonan

Perhelatan Jogjakarta Asian Film Festival telah berakhir beberapa waktu yang lalu. Perhelatan selama lima hari ini telah membawa film Kantata Takwa mendapatkan Golden Hanuman dan dinobatkan sebagai pemenang. Dalam festival film ini berbagai macam film dari sutradara-sutradara di benua asia disajikan untuk memuaskan dahaga para penggemar film di Jogjakarta dan sekitarnya. Sayangnya animo masyarakat tak sekencang pagelaran JAFF tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bangku kosong selama pertunjukan. Ironisnya animo masyarakat menurun sekalipun di pagelaran kali ini semua tiket digratiskan.
Kali ini penulis tidak akan berbicara mengenai permasalahan di atas. Penulis ingin berbicara mengenai permasalahan lain yang penulis anggap lebih penting daripada menurunnya jumlah penonton.
Sebenarnya permasalahan ini bukan permasalahan anyar. Penulis kembali mencermati permasalahan ini setelah Mouly Surya, sutradara film Fiksi, menjawab sebuah pertanyaan dari penonton mengenai tanggapan masyarakat terhadap filmnya. Mouly berujar bahwa filmnya hanya bertahan selama satu minggu di bioskop jaringan 21. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, yang penulis harap tidak prematur, bahwa penonton di Indonesia lebih menyukai film-film horror dan komedi dewasa yang sedang menjamur di bioskop-bioskop jaringan 21.
Memang film fiksi tak dapat dikategorikan dalam mainstream film Indonesia. Film ini tidak menampilkan sosok-sosok hantu, guyonan-guyonan cabul, teriakan-teriakan marah, dan tangisan-tangisan bombay. Mungkin karena itu film ini tak mendapat banyak tempat di hati penonton Indonesia. Namun, film yang kurang mendapat tempat di banyak hati penonton Indonesia ternyata memperoleh penghargaan dalam Pusan Film Festival dan mendapat pujian di pagelaran JAFF kemarin.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan seperti apa sebenarnya selera dan perilaku penonton di Indonesia? Untuk dapat menterjemahkan pertanyaan ini, penulis akan mencoba membandingkannya dengan selera dan perilaku masyarakat dalam “melihat” sinetron.
Sinetron atau sinema elektronik telah menjadi sebuah kebudayaan baru yang tidak dapat dilepaskan dari pemirsa televisi. Persoalan sinetron seperti keping mata uang; mempunyai dua sisi. Di satu sisi, banyak masyarakat yang sangat menggilai sinetron, sedang di sisi lainnya ada yang mengeluhkan isi sinetron yang tidak mendidik karena menampilkan banyak unsur kekerasan dan picisan.
Ada dua kemungkinan yang mungkin terjadi di masyarakat, yang pertama, selera menonton masyarakat memang buruk. Mereka tidak tahu mana sinetron yang baik dan mana sinetron yang buruk. Atau kemungkinan yang ke-dua Indonesia kekurangan sinetron-sinetron (juga film-film) yang bermutu, sehingga masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan dan akhirnya terpaksa menonton sinetron-sinetron (juga film-film) yang ada.
Saat ini, dasar yang di gunakan untuk melihat apakah sebuah tayangan, termasuk sinetron, digemari oleh masyarakat ataukah tidak adalah dengan sistem rating. Apabila rating sebuah tayangan tinggi, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa masyarakat menggemari tayangan tersebut. Acuan ini kerap digunakan oleh rumah-rumah produksi sebagai dasar untuk pembuatan tayangan-tayangan di televisi. Dan rating-rating tayangan yang tinggi menjadi milik tayangan-tayangan yang mengobral adegan-adegan kekerasan, mimpi-mimpi, dan picisan.
Kemudian, dapatkah diambil sebuah kesimpulan kalau masyarakat Indonesia mempunyai selera menonton yang jelek? Penulis pikir hal ini tidak dapat dikatakan “ya” seperti ketukan palu di pengadilan. Ada beberapa kasus yang “menghancurkan” asumsi sistem rating. Tahun lalu, ada sebuah sinetron berjudul Para Pencari Tuhan, yang tahun ini kembali diputar, yang dapat dikategorikan berbeda daripada sinetron kebanyakan.
Sinetron yang bergenre religi ini mampu menyuguhkan hiburan yang cerdas dan berbobot. Sinetron ini juga memberikan banyak porsi untuk unsur pendidikan. Pada waktu itu, Para Pencari Tuhan berhasil mendapatkan rating yang tinggi mengalahkan acara-acara yang lain. Fakta ini menyanggah bahwa selera menonton masyarakat buruk karena terbukti masyarakat mampu memilih tayangan yang baik asalkan ada yang menayangkannya.
Namun, fakta masyarakat mempunyai selera menonton yang baik tidak dapat di amini sepenuhnya karena sinetron Para Pencari Tuhan notabene adalah sinetron religi yang berbasis agama Islam dan saat itu umat Islam sedang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Karena faktor itulah asumsi fakta selera menonton masyarakat yang baik dapat bergeser menjadi penilaian subjektif daripada objektif. Terlepas dari apakah rating sinetron Para Pencari Tuhan subyektif atau objektif, sinetron ini setidaknya sedikit membuktikan membuktikan pendapat yang ke-dua bahwa masyarakat sebenarnya adalah masyarakat yang cerdas, masyarakat yang mampu memilih dan memilah kebutuhan akan tayangan-tayangan bermutu. Mereka hanya kekurangan tayangan-tayangan yang bermutu tersebut. Masyarakat terpaksa menonton suguhan hiburan yang ada, walau suguhan hiburan tersebut ngawur dan tidak jelas karena mereka tidak mempunyai banyak pilihan tontonan.
Dari paparan di atas, lalu dapatkah ditarik sebuah kesimpulan yang final mengenai selera menonton film masyarakat? Penulis kira belum. Namun, berdasar dari salah satu ujaran Mouly Surya, penulis mencoba untuk berangkat dari sebuah pemikiran bahwa masyarakat belum mempunyai selera menonton yang baik dengan sebuah asumsi bahwa menonton film tidak jauh berbeda dari menonton sinetron. Hanya saja menonton film membutuhkan tenaga dan biaya ekstra daripada menonton sinetron Menonton film di bioskop sebagai contoh, membutuhkan tambahan tenaga, waktu, dan juga biaya yang kadang tidak murah dibandingkan sekedar duduk di depan televisi.
Lalu mungkin akan timbul sebuah pertanyaan mengapa selera menonton, tontonan, dan kegemaran menonton sendiri menjadi begitu penting. Perlu disadari bahwa tontonan (film dan sinetron) menjadi begitu penting karena ke-dua hal ini dapat berfungsi tidak hanya sekedar sebagai hiburan. Tontonan dapat mempunyai fungsi sebagai alat edukasi yang sangat mujarab. Tontonan sebagai alat edukasi misalnya, dapat dipergunakan untuk memberikan aufklarung kepada sebagian besar generasi muda bangsa ini karena sebagian besar penonton di gedung-gedung bioskop adalah anak muda. Lebih ekstrem lagi, tontonan dapat pula dipergunakan sebagai alat untuk menciptakan ideologi sebuah bangsa, sebuah alat kekuasaan.
Seperti dua keping mata uang, segala sesuatu mempunyai dua sisi yang berkebalikan. Satu sisi tontonan mempunyai efek positif yang begitu besar; di sisi lainnya tontonan menyimpan kekuatan destruktif yang sangat besar pula terhadap sebuah bangsa. Kekuatan destruktif muncul apabila sebuah bangsa terus-menerus tanpa henti dicekoki dengan sajian-sajian tontonan yang remeh, yang menghipnotis seluruh bangsa untuk berpikir sempit dan bermental terjajah. Hal inilah yang sedang terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa sebuah tontonan memiliki potensi yang begitu besar, baik untuk membangun maupun menghancurkan sebuah bangsa, tanpa sebuah kepedulian yang besar dari semua pihak terutama pemerintah, walhasil, mungkin, bangsa ini semakin lama akan semakin tergerus hancur tanpa pernah berkembang menyambangi kemajuan.
Peran Pemerintah
Dalam buku teori kebudayaan, Johannes Supriyono mengatakan bahwa media memungkinkan terciptanya budaya baru yang dikehendaki oleh kelompok yang berdaya (para pemodal!) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus mereka membentuk struktur budaya dominan.
Dari paparan diatas, media mempunyai peranan yang sangat besar untuk menciptakan sebuah mainstream budaya, termasuk juga budaya menonton. Yang tak dapat dipisahkan dari peran kuat media adalah para pemilik modal yang berdiri di belakang media. Mainstream film Indonesia yang rata-rata dipenuhi oleh serbuan film-film Hollywood dan serbuan film-film horror juga komedi dewasa tak dapat begitu saja dilepaskan dari peranan para pemilik modal. Untuk menahan laju gempuran para pemilik modal dibutuhkan sebuah kesadaran yang kuat dan peran aktif dari pemerintah.
Tak dapat dipungkiri pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar. Dukungan atau penegasian pemerintah berbicara sangat banyak dalam hal ini. Dari paparan di atas ada dua hal besar yang harus pemerintah hadapi guna menciptakan iklim menonton yang sehat dan berkualitas. Hal pertama yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan sebuah proses pembelajaran mengenai tontonan yang baik dan berkualitas. Dalam hal ini, yaitu soal selera menonton masyarakat. Pemerintah dapat menerapkan sebuah sistem pembelajaran menonton sejak dini. Sistem ini dapat diadopsi dari Perancis yang terlebih dulu menerapkan sistem ini, dimana anak usia 12 tahun sudah diberikan semacam pelajaran tentang mana film yang baik dan film yang buruk. Atau pemerintah dapat memasukkan kurikulum menonton ke dalam institusi-institusi pendidikan.
Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai si pembuka jalan atau memberikan guidance kepada masyarakat. Nantinya, sistem ini akan berfungsi sebagai pembanding bagi masyarakat untuk mengetahui dan memilih tayangan-tayangan yang berkualitas. Dalam kata lain, pemerintah dapat membantu memperluas cakrawala masyarakat. Masyarakat diberikan sebuah pemahaman mengenai film yang baik dan yang buruk, lalu masyarakat diberikan keleluasaan untuk memilih dan menonton film-film yang mereka sukai. Apakah tidak ada ketakutan nantinya masyarakat akan tetap memilih film yang tidak bermutu? Penulis kira masyarakat yang terdidik akan berubah menjadi masyarakat yang cerdas, jadi kekhawatiran seperti itu tidak akan terjadi, semoga.
Yang perlu turut diperhatikan dalam permasalahan ini adalah pemerintah memberikan semacam keleluasaan tetapi bukan melakukan penyensoran. Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, pemerintah mempunyai pengaruh yang besar dalam menciptakan sebuah kebudayaan yaitu kebudayaan menonton. Dengan kekuatan yang sedemikian besar, dikhawatirkan pemerintah akan tergelincir dengan kekuasaannya dan menjadikan hal-hal seperti ini sebagai sebuah alat kekuasaan, sebagai sebuah alat untuk mengontrol ideologi pola berpikir masyarakat. Untuk itu dibutuhkan sebuah niatan yang benar-benar tulus untuk tidak mencampur urusan pembentukan kebudayaan ini sebagai alat untuk memupuk kekuasaan.
Pembentukan kebudayaan tanpa dukungan dari produk budaya akan terasa hambar. Maksud penulis adalah alangkah baiknya apabila alat yang digunakan dalam membentuk budaya menonton adalah film-film produksi lokal anak bangsa. Film-film tersebut akan mempunyai nilai serta ikatan budaya yang lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan film-film produksi luar negeri. Untuk itu pemerintah harus senantiasa mendorong dan mendukung film-film juga insan-insan perfilman dalam negeri untuk aktif menciptakan film-film yang berkualitas. Hal ini dapat juga didukung oleh proteksi film-film produk dalam negeri. Cara ini di gunakan di Perancis dan Iran. Pemerintah Perancis dan Iran memproteksi film-film dalam negeri mereka dengan membatasi serangan film-film Hollywood yang beredar. Perancis contohnya, apabila ada sebuah proposal pembuatan film yang bagus, pemerintah Perancis serta merta mendukung pelaksanaan pembuatan film tersebut. Tidak hanya memberikan restu, di Perancis diberlakukan sebuah sistem “advance against takings”, yang mana seorang produser ataupun seorang sutradara film akan diberikan semacam pinjaman di awal untuk menyelesaikan proyek filmnya. Sistem ini berlaku untuk semua film, termasuk juga film-film non komersil. Besar harapan saat tehnik proteksi ini dilakukan, film-film karya anak bangsa akan lebih leluasa tumbuh dan berkembang. Apabila saat ini dominasi film-film di bioskop adalah milik Hollywood, esok hari, film-film karya anak bangsa akan mendaptakan lebih banyak tempat dan jatah pemutaran di jaringan-jaringan bioskop sekaligus di hati masyarakat Indonesia. Sekali lagi hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah melalui media dalam menciptakan mitos positif mengenai film-film lokal yang berkualitas karena saat ini pola pikir masyarakat masih mengacu kepada media yang lama yaitu film-film horor, komedi dewasa, dan film-film produksi Hollywood. Pemerintah pun dapat mendukung digelarnya pagelaran festival film sesering mungkin guna memacu kreativitas para insan film di negeri ini.
Demikianlah, dalam tulisan ini, penulis menggaris bawahi peran pemerintah yang sangat vital untuk menciptakan sebuah tatanan menonton yang lebih baik. Dengan harapan yang besar, hati yang tulus, dan langkah yang pasti, semoga pernyataan dan pertanyaan yang berkaitan dengan selera menonton atau ujaran-ujaran seperti yang dilakukan oleh Mouly Surya akan jauh berkurang dan berganti menjadi sebuah semangat baru, semangat pantang menyerah untuk selalu aktif dan kreatif yang dituangkan dalam sebuah wujud kreatifitas. Sebuah kreatifitas untuk memajukan bangsa bukan menenggelamkannya, melalui penciptaan tontonan-tontonan yang bermutu juga bermanfaat.

Fiksi.

Orang tua dan lingkungan sekitar adalah dua kunci utama dalam pertumbuhan seorang anak. Tanpa kasih sayang yang memadai dan lingkungan yang tidak kondusif dikhawatirkan seorang anak akan mengalami gangguan dalam proses tumbuh kembangnya. Kata-kata tersebut tepat dialamatkan untuk Fiksi, sebuah film karya Mouly Surya.
Apa jadinya apabila seorang anak kecil yang dua puluh tahun hidupnya di habiskan di dalam rumah yang penuh dengan kenangan-kenangan yang menyedihkan bahkan kejam. Alkisah, Alisha (Ladya Cheryl), seorang putri dari keluarga yang sangat kaya namun hidupnya tidak bahagia. Ayahnya, mungkin seorang pejabat, sangat jarang berada di rumah. Alisha terkurung dalam kehidupan sempit di dalam rumah. Ayahnya tak pernah memberikan kebebasan baginya. Waktunya dihabiskan untuk bermain cello dan mengutuki ayahnya.
Perselingkuhan ayahnya semenjak dahulu dan ibunya yang bunuh diri beserta adiknya yang masih dalam kandungan semakin memberikan efek psikologis yang sangat dalam pada diri Alisha.
Kehidupan Alisha mulai berubah semenjak kehadiran Bari (Donny Alamsyah) di rumahnya. Bari yang bekerja sementara sebagai tukang bersih kolam renang memberikan sapuan manis dalam kehidupan Alisha. Segera saja Alisha menjadi terobsesi dengan Bari.
Obsesi Alisha kepada Bari menuntunnya keluar dari kehidupan lamanya menuju kehidupan yang baru. Demi obsesinya, Alisha bahkan menyewa sebuah kamar tepat disamping kamar Bari di sebuah kompleks rumah susun.
Suspense mulai terbangun saat orang-orang dalam cerita Bari satu persatu tewas. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah susun dengan segala cerita kehidupan mereka. Cerita-cerita kehidupan mereka ini yang menjadi sumber inspirasi bagi Bari yang seorang penulis. Kematian para penghuni di rumah susun terjadi semenjak kedatangan Alisha dan semenjak Bari menceritakan kisah mereka kepada Alisha.
Film ini somehow banyak menampilkan unsur kekerasan. Uniknya kekerasan tidak ditampilkan secara vulgar melalui gambar-gambar film. Kekerasan ditampilkan melalui proses dan cara-cara Alisha merampas kebahagiaan dan hidup orang lain melalui cerita-cerita Bari. Penonton tidak akan banyak melihat unsur kekerasan melalui gambar-gambar. Penonton akan lebih banyak “merasakan” unsur kekerasan tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena yang disorot adalah sisi psikologis dari Alisha.
Ada semacam unsur psikologis balas dendam dan kekerasan dalam diri Alisha. Pendekatan yang digunakan mungkin menggunakan teori-teori Freudian dimana mimpi adalah alam bawah sadar manusia. Menurut Aristoteles dalam buku Tafsir Mimpi karya Sigmund Freud, mimpi didefinisikan sebagai aktivitas psikis seseorang ketika ia berada dalam kondisi tidak sadar atau sedang tidur. Alisha dihantui oleh ibunya melalui mimpi-mimpi.
Dalam mimpinya, Alisha kerap bertemu dengan ibunya. Yang menarik adalah sosok ibu dalam mimpi Alisha dijadikan perlambang dari sisi-sisi kekerasan, kekejaman, dan kesedihan yang menusuk dalam diri Alisha. Burdach, dalam Tafsir Mimpi karya Freud menyebutkan bahwa Alam sadar, dengan segala cobaan dan kenikmatannya, dengan segala kesenangan dan kesedihannya, bagaimanapun tak akan pernah terulang; sebaliknya, mimpi membebaskan kita dari hal-hal tersebut. Bahkan ketika seluruh pikiran kita terbebani oleh suatu persoalan, ketika hati kita terkoyak oleh kesedihan yang mendalam, atau ketika beberapa pekerjaan menyita seluruh kapasitas mental kita, mimpi memberi sesuatu yang seluruhnya asing, atau ia hanya memilih beberapa unsur realita untuk kombinasinya; atau ia sekedar masuk ke dalam suasana hati kita dan mengubah realita ke dalam simbol-simbol. Mimpinya akan sosok ibu yang berupa simbol kekerasan, kekejaman, dan kesedihan yang mendalam seakan-akan menjadi sebuah legitimasi akan tindakan-tindakan kejam yang dilakukan Alisha.
Sosok ibu dalam mimpi telah terdistorsi dari sosok seorang ibu yang penuh kasih sayang dan cinta menjadi sosok seorang ibu—yang dalam sudut pandang tertentu dapat juga dikatakan karena cinta—yang menanamkan benih-benih kekejaman dan kekerasan. Sosok ibu ini yang mempengaruhi sisi psikologis Alisha. Kembali mengutip Aristoteles, mimpi tidak lebih dari persoalan psikologi. Di sana disebutkan bahwa mimpi bukanlah ilham dari dewa, bahwa ia bukan berasal dari hal-hal yang berbau kedewaan (divine), melainkan dari sifat-sifat kejam atau jahat (demonic). Dan sifat jahat itulah sifat manusia yang sebenarnya. Dalam pengaruh ini Alisha tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, aneh, kikuk, namun menyimpan sisi kejam yang tak nampak khas psikopat.
Film ini mungkin tidak dapat dikategorikan ke dalam mainstream film-film Indonesia saat ini. Fiksi tidak menampilkan sosok-sosok hantu yang bergentayangan, makian-makian atau tangisan cengeng. Film ini lebih menyoroti potret psikologis Alisha sebagai tokoh utama. Potret seseorang gadis yang tumbuh di lingkungan kehidupan yang tidak sehat, tanpa kasih sayang orang tua, dan dampak terhadap kehidupannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh sutradara film ini; Mouly Surya, bahwa filmnya berangkat dari pemikiran yang sederhana bahwa sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar jahat dan tentang apa yang penulis sebut dengan “psikologi kejahatan;” yaitu pikiran atau apa sesungguhnya yang “orang jahat” pikirkan.
Meskipun berangkat dari pemikiran yang sederhana, Mouly mampu mencipta film yang sangat menarik. Kombinasi plot tentang bagaimana Alisha masuk dan mengobrak-abrik cerita-cerita Bari dengan memberikan ending-ending gelap dalam cerita-ceritanya dan naskah film yang memang ditulis ulang oleh Joko Anwar memberikan sensasi tersendiri bagi Fiksi. Kalau boleh penulis katakan, Fiksi adalah film yang wajib di tonton oleh masyarakat Indonesia.