Rabu, 17 September 2008

Fiksi.

Orang tua dan lingkungan sekitar adalah dua kunci utama dalam pertumbuhan seorang anak. Tanpa kasih sayang yang memadai dan lingkungan yang tidak kondusif dikhawatirkan seorang anak akan mengalami gangguan dalam proses tumbuh kembangnya. Kata-kata tersebut tepat dialamatkan untuk Fiksi, sebuah film karya Mouly Surya.
Apa jadinya apabila seorang anak kecil yang dua puluh tahun hidupnya di habiskan di dalam rumah yang penuh dengan kenangan-kenangan yang menyedihkan bahkan kejam. Alkisah, Alisha (Ladya Cheryl), seorang putri dari keluarga yang sangat kaya namun hidupnya tidak bahagia. Ayahnya, mungkin seorang pejabat, sangat jarang berada di rumah. Alisha terkurung dalam kehidupan sempit di dalam rumah. Ayahnya tak pernah memberikan kebebasan baginya. Waktunya dihabiskan untuk bermain cello dan mengutuki ayahnya.
Perselingkuhan ayahnya semenjak dahulu dan ibunya yang bunuh diri beserta adiknya yang masih dalam kandungan semakin memberikan efek psikologis yang sangat dalam pada diri Alisha.
Kehidupan Alisha mulai berubah semenjak kehadiran Bari (Donny Alamsyah) di rumahnya. Bari yang bekerja sementara sebagai tukang bersih kolam renang memberikan sapuan manis dalam kehidupan Alisha. Segera saja Alisha menjadi terobsesi dengan Bari.
Obsesi Alisha kepada Bari menuntunnya keluar dari kehidupan lamanya menuju kehidupan yang baru. Demi obsesinya, Alisha bahkan menyewa sebuah kamar tepat disamping kamar Bari di sebuah kompleks rumah susun.
Suspense mulai terbangun saat orang-orang dalam cerita Bari satu persatu tewas. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah susun dengan segala cerita kehidupan mereka. Cerita-cerita kehidupan mereka ini yang menjadi sumber inspirasi bagi Bari yang seorang penulis. Kematian para penghuni di rumah susun terjadi semenjak kedatangan Alisha dan semenjak Bari menceritakan kisah mereka kepada Alisha.
Film ini somehow banyak menampilkan unsur kekerasan. Uniknya kekerasan tidak ditampilkan secara vulgar melalui gambar-gambar film. Kekerasan ditampilkan melalui proses dan cara-cara Alisha merampas kebahagiaan dan hidup orang lain melalui cerita-cerita Bari. Penonton tidak akan banyak melihat unsur kekerasan melalui gambar-gambar. Penonton akan lebih banyak “merasakan” unsur kekerasan tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena yang disorot adalah sisi psikologis dari Alisha.
Ada semacam unsur psikologis balas dendam dan kekerasan dalam diri Alisha. Pendekatan yang digunakan mungkin menggunakan teori-teori Freudian dimana mimpi adalah alam bawah sadar manusia. Menurut Aristoteles dalam buku Tafsir Mimpi karya Sigmund Freud, mimpi didefinisikan sebagai aktivitas psikis seseorang ketika ia berada dalam kondisi tidak sadar atau sedang tidur. Alisha dihantui oleh ibunya melalui mimpi-mimpi.
Dalam mimpinya, Alisha kerap bertemu dengan ibunya. Yang menarik adalah sosok ibu dalam mimpi Alisha dijadikan perlambang dari sisi-sisi kekerasan, kekejaman, dan kesedihan yang menusuk dalam diri Alisha. Burdach, dalam Tafsir Mimpi karya Freud menyebutkan bahwa Alam sadar, dengan segala cobaan dan kenikmatannya, dengan segala kesenangan dan kesedihannya, bagaimanapun tak akan pernah terulang; sebaliknya, mimpi membebaskan kita dari hal-hal tersebut. Bahkan ketika seluruh pikiran kita terbebani oleh suatu persoalan, ketika hati kita terkoyak oleh kesedihan yang mendalam, atau ketika beberapa pekerjaan menyita seluruh kapasitas mental kita, mimpi memberi sesuatu yang seluruhnya asing, atau ia hanya memilih beberapa unsur realita untuk kombinasinya; atau ia sekedar masuk ke dalam suasana hati kita dan mengubah realita ke dalam simbol-simbol. Mimpinya akan sosok ibu yang berupa simbol kekerasan, kekejaman, dan kesedihan yang mendalam seakan-akan menjadi sebuah legitimasi akan tindakan-tindakan kejam yang dilakukan Alisha.
Sosok ibu dalam mimpi telah terdistorsi dari sosok seorang ibu yang penuh kasih sayang dan cinta menjadi sosok seorang ibu—yang dalam sudut pandang tertentu dapat juga dikatakan karena cinta—yang menanamkan benih-benih kekejaman dan kekerasan. Sosok ibu ini yang mempengaruhi sisi psikologis Alisha. Kembali mengutip Aristoteles, mimpi tidak lebih dari persoalan psikologi. Di sana disebutkan bahwa mimpi bukanlah ilham dari dewa, bahwa ia bukan berasal dari hal-hal yang berbau kedewaan (divine), melainkan dari sifat-sifat kejam atau jahat (demonic). Dan sifat jahat itulah sifat manusia yang sebenarnya. Dalam pengaruh ini Alisha tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, aneh, kikuk, namun menyimpan sisi kejam yang tak nampak khas psikopat.
Film ini mungkin tidak dapat dikategorikan ke dalam mainstream film-film Indonesia saat ini. Fiksi tidak menampilkan sosok-sosok hantu yang bergentayangan, makian-makian atau tangisan cengeng. Film ini lebih menyoroti potret psikologis Alisha sebagai tokoh utama. Potret seseorang gadis yang tumbuh di lingkungan kehidupan yang tidak sehat, tanpa kasih sayang orang tua, dan dampak terhadap kehidupannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh sutradara film ini; Mouly Surya, bahwa filmnya berangkat dari pemikiran yang sederhana bahwa sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar jahat dan tentang apa yang penulis sebut dengan “psikologi kejahatan;” yaitu pikiran atau apa sesungguhnya yang “orang jahat” pikirkan.
Meskipun berangkat dari pemikiran yang sederhana, Mouly mampu mencipta film yang sangat menarik. Kombinasi plot tentang bagaimana Alisha masuk dan mengobrak-abrik cerita-cerita Bari dengan memberikan ending-ending gelap dalam cerita-ceritanya dan naskah film yang memang ditulis ulang oleh Joko Anwar memberikan sensasi tersendiri bagi Fiksi. Kalau boleh penulis katakan, Fiksi adalah film yang wajib di tonton oleh masyarakat Indonesia.

Tidak ada komentar: