Rabu, 17 September 2008

Seputar Menonton dan Tontonan

Perhelatan Jogjakarta Asian Film Festival telah berakhir beberapa waktu yang lalu. Perhelatan selama lima hari ini telah membawa film Kantata Takwa mendapatkan Golden Hanuman dan dinobatkan sebagai pemenang. Dalam festival film ini berbagai macam film dari sutradara-sutradara di benua asia disajikan untuk memuaskan dahaga para penggemar film di Jogjakarta dan sekitarnya. Sayangnya animo masyarakat tak sekencang pagelaran JAFF tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya bangku kosong selama pertunjukan. Ironisnya animo masyarakat menurun sekalipun di pagelaran kali ini semua tiket digratiskan.
Kali ini penulis tidak akan berbicara mengenai permasalahan di atas. Penulis ingin berbicara mengenai permasalahan lain yang penulis anggap lebih penting daripada menurunnya jumlah penonton.
Sebenarnya permasalahan ini bukan permasalahan anyar. Penulis kembali mencermati permasalahan ini setelah Mouly Surya, sutradara film Fiksi, menjawab sebuah pertanyaan dari penonton mengenai tanggapan masyarakat terhadap filmnya. Mouly berujar bahwa filmnya hanya bertahan selama satu minggu di bioskop jaringan 21. Dari pernyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan, yang penulis harap tidak prematur, bahwa penonton di Indonesia lebih menyukai film-film horror dan komedi dewasa yang sedang menjamur di bioskop-bioskop jaringan 21.
Memang film fiksi tak dapat dikategorikan dalam mainstream film Indonesia. Film ini tidak menampilkan sosok-sosok hantu, guyonan-guyonan cabul, teriakan-teriakan marah, dan tangisan-tangisan bombay. Mungkin karena itu film ini tak mendapat banyak tempat di hati penonton Indonesia. Namun, film yang kurang mendapat tempat di banyak hati penonton Indonesia ternyata memperoleh penghargaan dalam Pusan Film Festival dan mendapat pujian di pagelaran JAFF kemarin.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan seperti apa sebenarnya selera dan perilaku penonton di Indonesia? Untuk dapat menterjemahkan pertanyaan ini, penulis akan mencoba membandingkannya dengan selera dan perilaku masyarakat dalam “melihat” sinetron.
Sinetron atau sinema elektronik telah menjadi sebuah kebudayaan baru yang tidak dapat dilepaskan dari pemirsa televisi. Persoalan sinetron seperti keping mata uang; mempunyai dua sisi. Di satu sisi, banyak masyarakat yang sangat menggilai sinetron, sedang di sisi lainnya ada yang mengeluhkan isi sinetron yang tidak mendidik karena menampilkan banyak unsur kekerasan dan picisan.
Ada dua kemungkinan yang mungkin terjadi di masyarakat, yang pertama, selera menonton masyarakat memang buruk. Mereka tidak tahu mana sinetron yang baik dan mana sinetron yang buruk. Atau kemungkinan yang ke-dua Indonesia kekurangan sinetron-sinetron (juga film-film) yang bermutu, sehingga masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan dan akhirnya terpaksa menonton sinetron-sinetron (juga film-film) yang ada.
Saat ini, dasar yang di gunakan untuk melihat apakah sebuah tayangan, termasuk sinetron, digemari oleh masyarakat ataukah tidak adalah dengan sistem rating. Apabila rating sebuah tayangan tinggi, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa masyarakat menggemari tayangan tersebut. Acuan ini kerap digunakan oleh rumah-rumah produksi sebagai dasar untuk pembuatan tayangan-tayangan di televisi. Dan rating-rating tayangan yang tinggi menjadi milik tayangan-tayangan yang mengobral adegan-adegan kekerasan, mimpi-mimpi, dan picisan.
Kemudian, dapatkah diambil sebuah kesimpulan kalau masyarakat Indonesia mempunyai selera menonton yang jelek? Penulis pikir hal ini tidak dapat dikatakan “ya” seperti ketukan palu di pengadilan. Ada beberapa kasus yang “menghancurkan” asumsi sistem rating. Tahun lalu, ada sebuah sinetron berjudul Para Pencari Tuhan, yang tahun ini kembali diputar, yang dapat dikategorikan berbeda daripada sinetron kebanyakan.
Sinetron yang bergenre religi ini mampu menyuguhkan hiburan yang cerdas dan berbobot. Sinetron ini juga memberikan banyak porsi untuk unsur pendidikan. Pada waktu itu, Para Pencari Tuhan berhasil mendapatkan rating yang tinggi mengalahkan acara-acara yang lain. Fakta ini menyanggah bahwa selera menonton masyarakat buruk karena terbukti masyarakat mampu memilih tayangan yang baik asalkan ada yang menayangkannya.
Namun, fakta masyarakat mempunyai selera menonton yang baik tidak dapat di amini sepenuhnya karena sinetron Para Pencari Tuhan notabene adalah sinetron religi yang berbasis agama Islam dan saat itu umat Islam sedang menjalankan ibadah di bulan Ramadhan. Karena faktor itulah asumsi fakta selera menonton masyarakat yang baik dapat bergeser menjadi penilaian subjektif daripada objektif. Terlepas dari apakah rating sinetron Para Pencari Tuhan subyektif atau objektif, sinetron ini setidaknya sedikit membuktikan membuktikan pendapat yang ke-dua bahwa masyarakat sebenarnya adalah masyarakat yang cerdas, masyarakat yang mampu memilih dan memilah kebutuhan akan tayangan-tayangan bermutu. Mereka hanya kekurangan tayangan-tayangan yang bermutu tersebut. Masyarakat terpaksa menonton suguhan hiburan yang ada, walau suguhan hiburan tersebut ngawur dan tidak jelas karena mereka tidak mempunyai banyak pilihan tontonan.
Dari paparan di atas, lalu dapatkah ditarik sebuah kesimpulan yang final mengenai selera menonton film masyarakat? Penulis kira belum. Namun, berdasar dari salah satu ujaran Mouly Surya, penulis mencoba untuk berangkat dari sebuah pemikiran bahwa masyarakat belum mempunyai selera menonton yang baik dengan sebuah asumsi bahwa menonton film tidak jauh berbeda dari menonton sinetron. Hanya saja menonton film membutuhkan tenaga dan biaya ekstra daripada menonton sinetron Menonton film di bioskop sebagai contoh, membutuhkan tambahan tenaga, waktu, dan juga biaya yang kadang tidak murah dibandingkan sekedar duduk di depan televisi.
Lalu mungkin akan timbul sebuah pertanyaan mengapa selera menonton, tontonan, dan kegemaran menonton sendiri menjadi begitu penting. Perlu disadari bahwa tontonan (film dan sinetron) menjadi begitu penting karena ke-dua hal ini dapat berfungsi tidak hanya sekedar sebagai hiburan. Tontonan dapat mempunyai fungsi sebagai alat edukasi yang sangat mujarab. Tontonan sebagai alat edukasi misalnya, dapat dipergunakan untuk memberikan aufklarung kepada sebagian besar generasi muda bangsa ini karena sebagian besar penonton di gedung-gedung bioskop adalah anak muda. Lebih ekstrem lagi, tontonan dapat pula dipergunakan sebagai alat untuk menciptakan ideologi sebuah bangsa, sebuah alat kekuasaan.
Seperti dua keping mata uang, segala sesuatu mempunyai dua sisi yang berkebalikan. Satu sisi tontonan mempunyai efek positif yang begitu besar; di sisi lainnya tontonan menyimpan kekuatan destruktif yang sangat besar pula terhadap sebuah bangsa. Kekuatan destruktif muncul apabila sebuah bangsa terus-menerus tanpa henti dicekoki dengan sajian-sajian tontonan yang remeh, yang menghipnotis seluruh bangsa untuk berpikir sempit dan bermental terjajah. Hal inilah yang sedang terjadi di dalam tubuh bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa sebuah tontonan memiliki potensi yang begitu besar, baik untuk membangun maupun menghancurkan sebuah bangsa, tanpa sebuah kepedulian yang besar dari semua pihak terutama pemerintah, walhasil, mungkin, bangsa ini semakin lama akan semakin tergerus hancur tanpa pernah berkembang menyambangi kemajuan.
Peran Pemerintah
Dalam buku teori kebudayaan, Johannes Supriyono mengatakan bahwa media memungkinkan terciptanya budaya baru yang dikehendaki oleh kelompok yang berdaya (para pemodal!) untuk membentuk mainstream atau nilai-nilai yang sekaligus mereka membentuk struktur budaya dominan.
Dari paparan diatas, media mempunyai peranan yang sangat besar untuk menciptakan sebuah mainstream budaya, termasuk juga budaya menonton. Yang tak dapat dipisahkan dari peran kuat media adalah para pemilik modal yang berdiri di belakang media. Mainstream film Indonesia yang rata-rata dipenuhi oleh serbuan film-film Hollywood dan serbuan film-film horror juga komedi dewasa tak dapat begitu saja dilepaskan dari peranan para pemilik modal. Untuk menahan laju gempuran para pemilik modal dibutuhkan sebuah kesadaran yang kuat dan peran aktif dari pemerintah.
Tak dapat dipungkiri pemerintah mempunyai peranan yang sangat besar. Dukungan atau penegasian pemerintah berbicara sangat banyak dalam hal ini. Dari paparan di atas ada dua hal besar yang harus pemerintah hadapi guna menciptakan iklim menonton yang sehat dan berkualitas. Hal pertama yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan sebuah proses pembelajaran mengenai tontonan yang baik dan berkualitas. Dalam hal ini, yaitu soal selera menonton masyarakat. Pemerintah dapat menerapkan sebuah sistem pembelajaran menonton sejak dini. Sistem ini dapat diadopsi dari Perancis yang terlebih dulu menerapkan sistem ini, dimana anak usia 12 tahun sudah diberikan semacam pelajaran tentang mana film yang baik dan film yang buruk. Atau pemerintah dapat memasukkan kurikulum menonton ke dalam institusi-institusi pendidikan.
Dalam hal ini pemerintah bertindak sebagai si pembuka jalan atau memberikan guidance kepada masyarakat. Nantinya, sistem ini akan berfungsi sebagai pembanding bagi masyarakat untuk mengetahui dan memilih tayangan-tayangan yang berkualitas. Dalam kata lain, pemerintah dapat membantu memperluas cakrawala masyarakat. Masyarakat diberikan sebuah pemahaman mengenai film yang baik dan yang buruk, lalu masyarakat diberikan keleluasaan untuk memilih dan menonton film-film yang mereka sukai. Apakah tidak ada ketakutan nantinya masyarakat akan tetap memilih film yang tidak bermutu? Penulis kira masyarakat yang terdidik akan berubah menjadi masyarakat yang cerdas, jadi kekhawatiran seperti itu tidak akan terjadi, semoga.
Yang perlu turut diperhatikan dalam permasalahan ini adalah pemerintah memberikan semacam keleluasaan tetapi bukan melakukan penyensoran. Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, pemerintah mempunyai pengaruh yang besar dalam menciptakan sebuah kebudayaan yaitu kebudayaan menonton. Dengan kekuatan yang sedemikian besar, dikhawatirkan pemerintah akan tergelincir dengan kekuasaannya dan menjadikan hal-hal seperti ini sebagai sebuah alat kekuasaan, sebagai sebuah alat untuk mengontrol ideologi pola berpikir masyarakat. Untuk itu dibutuhkan sebuah niatan yang benar-benar tulus untuk tidak mencampur urusan pembentukan kebudayaan ini sebagai alat untuk memupuk kekuasaan.
Pembentukan kebudayaan tanpa dukungan dari produk budaya akan terasa hambar. Maksud penulis adalah alangkah baiknya apabila alat yang digunakan dalam membentuk budaya menonton adalah film-film produksi lokal anak bangsa. Film-film tersebut akan mempunyai nilai serta ikatan budaya yang lebih dekat dengan masyarakat dibandingkan dengan film-film produksi luar negeri. Untuk itu pemerintah harus senantiasa mendorong dan mendukung film-film juga insan-insan perfilman dalam negeri untuk aktif menciptakan film-film yang berkualitas. Hal ini dapat juga didukung oleh proteksi film-film produk dalam negeri. Cara ini di gunakan di Perancis dan Iran. Pemerintah Perancis dan Iran memproteksi film-film dalam negeri mereka dengan membatasi serangan film-film Hollywood yang beredar. Perancis contohnya, apabila ada sebuah proposal pembuatan film yang bagus, pemerintah Perancis serta merta mendukung pelaksanaan pembuatan film tersebut. Tidak hanya memberikan restu, di Perancis diberlakukan sebuah sistem “advance against takings”, yang mana seorang produser ataupun seorang sutradara film akan diberikan semacam pinjaman di awal untuk menyelesaikan proyek filmnya. Sistem ini berlaku untuk semua film, termasuk juga film-film non komersil. Besar harapan saat tehnik proteksi ini dilakukan, film-film karya anak bangsa akan lebih leluasa tumbuh dan berkembang. Apabila saat ini dominasi film-film di bioskop adalah milik Hollywood, esok hari, film-film karya anak bangsa akan mendaptakan lebih banyak tempat dan jatah pemutaran di jaringan-jaringan bioskop sekaligus di hati masyarakat Indonesia. Sekali lagi hal ini tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah melalui media dalam menciptakan mitos positif mengenai film-film lokal yang berkualitas karena saat ini pola pikir masyarakat masih mengacu kepada media yang lama yaitu film-film horor, komedi dewasa, dan film-film produksi Hollywood. Pemerintah pun dapat mendukung digelarnya pagelaran festival film sesering mungkin guna memacu kreativitas para insan film di negeri ini.
Demikianlah, dalam tulisan ini, penulis menggaris bawahi peran pemerintah yang sangat vital untuk menciptakan sebuah tatanan menonton yang lebih baik. Dengan harapan yang besar, hati yang tulus, dan langkah yang pasti, semoga pernyataan dan pertanyaan yang berkaitan dengan selera menonton atau ujaran-ujaran seperti yang dilakukan oleh Mouly Surya akan jauh berkurang dan berganti menjadi sebuah semangat baru, semangat pantang menyerah untuk selalu aktif dan kreatif yang dituangkan dalam sebuah wujud kreatifitas. Sebuah kreatifitas untuk memajukan bangsa bukan menenggelamkannya, melalui penciptaan tontonan-tontonan yang bermutu juga bermanfaat.

Fiksi.

Orang tua dan lingkungan sekitar adalah dua kunci utama dalam pertumbuhan seorang anak. Tanpa kasih sayang yang memadai dan lingkungan yang tidak kondusif dikhawatirkan seorang anak akan mengalami gangguan dalam proses tumbuh kembangnya. Kata-kata tersebut tepat dialamatkan untuk Fiksi, sebuah film karya Mouly Surya.
Apa jadinya apabila seorang anak kecil yang dua puluh tahun hidupnya di habiskan di dalam rumah yang penuh dengan kenangan-kenangan yang menyedihkan bahkan kejam. Alkisah, Alisha (Ladya Cheryl), seorang putri dari keluarga yang sangat kaya namun hidupnya tidak bahagia. Ayahnya, mungkin seorang pejabat, sangat jarang berada di rumah. Alisha terkurung dalam kehidupan sempit di dalam rumah. Ayahnya tak pernah memberikan kebebasan baginya. Waktunya dihabiskan untuk bermain cello dan mengutuki ayahnya.
Perselingkuhan ayahnya semenjak dahulu dan ibunya yang bunuh diri beserta adiknya yang masih dalam kandungan semakin memberikan efek psikologis yang sangat dalam pada diri Alisha.
Kehidupan Alisha mulai berubah semenjak kehadiran Bari (Donny Alamsyah) di rumahnya. Bari yang bekerja sementara sebagai tukang bersih kolam renang memberikan sapuan manis dalam kehidupan Alisha. Segera saja Alisha menjadi terobsesi dengan Bari.
Obsesi Alisha kepada Bari menuntunnya keluar dari kehidupan lamanya menuju kehidupan yang baru. Demi obsesinya, Alisha bahkan menyewa sebuah kamar tepat disamping kamar Bari di sebuah kompleks rumah susun.
Suspense mulai terbangun saat orang-orang dalam cerita Bari satu persatu tewas. Mereka adalah orang-orang yang tinggal di rumah susun dengan segala cerita kehidupan mereka. Cerita-cerita kehidupan mereka ini yang menjadi sumber inspirasi bagi Bari yang seorang penulis. Kematian para penghuni di rumah susun terjadi semenjak kedatangan Alisha dan semenjak Bari menceritakan kisah mereka kepada Alisha.
Film ini somehow banyak menampilkan unsur kekerasan. Uniknya kekerasan tidak ditampilkan secara vulgar melalui gambar-gambar film. Kekerasan ditampilkan melalui proses dan cara-cara Alisha merampas kebahagiaan dan hidup orang lain melalui cerita-cerita Bari. Penonton tidak akan banyak melihat unsur kekerasan melalui gambar-gambar. Penonton akan lebih banyak “merasakan” unsur kekerasan tersebut. Hal ini mungkin terjadi karena yang disorot adalah sisi psikologis dari Alisha.
Ada semacam unsur psikologis balas dendam dan kekerasan dalam diri Alisha. Pendekatan yang digunakan mungkin menggunakan teori-teori Freudian dimana mimpi adalah alam bawah sadar manusia. Menurut Aristoteles dalam buku Tafsir Mimpi karya Sigmund Freud, mimpi didefinisikan sebagai aktivitas psikis seseorang ketika ia berada dalam kondisi tidak sadar atau sedang tidur. Alisha dihantui oleh ibunya melalui mimpi-mimpi.
Dalam mimpinya, Alisha kerap bertemu dengan ibunya. Yang menarik adalah sosok ibu dalam mimpi Alisha dijadikan perlambang dari sisi-sisi kekerasan, kekejaman, dan kesedihan yang menusuk dalam diri Alisha. Burdach, dalam Tafsir Mimpi karya Freud menyebutkan bahwa Alam sadar, dengan segala cobaan dan kenikmatannya, dengan segala kesenangan dan kesedihannya, bagaimanapun tak akan pernah terulang; sebaliknya, mimpi membebaskan kita dari hal-hal tersebut. Bahkan ketika seluruh pikiran kita terbebani oleh suatu persoalan, ketika hati kita terkoyak oleh kesedihan yang mendalam, atau ketika beberapa pekerjaan menyita seluruh kapasitas mental kita, mimpi memberi sesuatu yang seluruhnya asing, atau ia hanya memilih beberapa unsur realita untuk kombinasinya; atau ia sekedar masuk ke dalam suasana hati kita dan mengubah realita ke dalam simbol-simbol. Mimpinya akan sosok ibu yang berupa simbol kekerasan, kekejaman, dan kesedihan yang mendalam seakan-akan menjadi sebuah legitimasi akan tindakan-tindakan kejam yang dilakukan Alisha.
Sosok ibu dalam mimpi telah terdistorsi dari sosok seorang ibu yang penuh kasih sayang dan cinta menjadi sosok seorang ibu—yang dalam sudut pandang tertentu dapat juga dikatakan karena cinta—yang menanamkan benih-benih kekejaman dan kekerasan. Sosok ibu ini yang mempengaruhi sisi psikologis Alisha. Kembali mengutip Aristoteles, mimpi tidak lebih dari persoalan psikologi. Di sana disebutkan bahwa mimpi bukanlah ilham dari dewa, bahwa ia bukan berasal dari hal-hal yang berbau kedewaan (divine), melainkan dari sifat-sifat kejam atau jahat (demonic). Dan sifat jahat itulah sifat manusia yang sebenarnya. Dalam pengaruh ini Alisha tumbuh menjadi pribadi yang pendiam, aneh, kikuk, namun menyimpan sisi kejam yang tak nampak khas psikopat.
Film ini mungkin tidak dapat dikategorikan ke dalam mainstream film-film Indonesia saat ini. Fiksi tidak menampilkan sosok-sosok hantu yang bergentayangan, makian-makian atau tangisan cengeng. Film ini lebih menyoroti potret psikologis Alisha sebagai tokoh utama. Potret seseorang gadis yang tumbuh di lingkungan kehidupan yang tidak sehat, tanpa kasih sayang orang tua, dan dampak terhadap kehidupannya. Tepat seperti yang dikatakan oleh sutradara film ini; Mouly Surya, bahwa filmnya berangkat dari pemikiran yang sederhana bahwa sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar jahat dan tentang apa yang penulis sebut dengan “psikologi kejahatan;” yaitu pikiran atau apa sesungguhnya yang “orang jahat” pikirkan.
Meskipun berangkat dari pemikiran yang sederhana, Mouly mampu mencipta film yang sangat menarik. Kombinasi plot tentang bagaimana Alisha masuk dan mengobrak-abrik cerita-cerita Bari dengan memberikan ending-ending gelap dalam cerita-ceritanya dan naskah film yang memang ditulis ulang oleh Joko Anwar memberikan sensasi tersendiri bagi Fiksi. Kalau boleh penulis katakan, Fiksi adalah film yang wajib di tonton oleh masyarakat Indonesia.

Rabu, 20 Agustus 2008

cinta




Seperti apa manusia memaknai cinta? Maniskah? Pahitkah? Apakah indah? Atau buruk?
Cinta berarti pengorbanan, tanpa pengorbanan suatu hal belum dikatakan cinta. Manusia yang dilanda cinta sanggup melakukan apa saja demi orang-orang yang di cinta. Maka pemujaan cinta yang seperti dapat tampil dalam wujud terkelamnya.
Adalah film Don’t Tell No One (sebuah thriller dari Perancis) yang berkisah tentang Alexander Beck suami Margot yang mulai menyelediki kematian istri tercintanya delapan tahun silam setelah menerima email dari seorang yang tak dikenal. Perlahan-lahan penyelidikan Alex menguak rahasia-rahasia kelam yang menyangkut istri, ayah mertua, senator Neuville, dan ayahnya yang sudah meninggal.
Saat segala tabir mulai terangkat, semuanya ternyata berawal dari kematian Phillipe Neuville anak dari sang senator oleh Margot. Ayah yang baik, atas nama cinta, pasti berusaha untuk melindungi anak terkasih mereka tak peduli apapun caranya. Sang senator menuntut balas akan kematian anaknya dengan mengirimkan para pembunuh bayaran. Sedang Justin, ayah Margot, berusaha menyelematkan anaknya dengan menciptakan skenario yang akan mengejutkan Alex.
Semua tindakan yang dilakukan berdasarkan cinta. Cinta yang tulus ayah kepada putra-putri mereka. apapun akan dilakukan meski nyawa orang lain balasannya. Pun cinta selalu memerlukan pengorbanan. Apakah itu yang dinamakan cinta sejati yang abadi?
Konsep tentang cinta yang abadi tidak berlaku untuk film 5*2. Di film ini, cinta di umpamakan bagai mahluk hidup yang rentan dan penuh lubang disana-sini. Cinta itu begitu manis pada awalnya seperti awal dari sebuah kehidupan, namun jika tidak dipelihara cinta akan di gerogoti oleh ulat-ulat dusta dan ketidak percayaan. Cinta mungkin masih akan tetap tinggal, hanya saja dalam bentuk yang berbeda: rasio, dan pertengkaran.
Akhirnya pasangan Gilbert dan Marrion harus bercerai setelah mengalami perjalanan panjang dalam kisah cinta mereka. kekuatan dari film ini adalah plot flashback dengan musik-musik yang indah.
Ada hal yang menarik di awal film ini. Setelah bercerai, mereka mencoba untuk bercinta. Yang terjadi adalah sebuah pemerkosaan dimana Marrion bukan saja tidak menikmati bahkan membenci sex mereka. Ada pepatah, saat wanita jatuh cinta dia akan memberikan segala-galanya padamu. Mungkin itulah yang terjadi, saat tumbuhan cinta layu penuh lubang, pasangan akan menjelma menjadi mimpi buruk. Masih adakah cinta yang abadi?

Woody Allen





Well, ini dia sang maestro pengejek kehidupan. Seringkali waktu atau nasib mengejek bahkan mempermainkan manusia. Manusia tak lagi menjadi seorang pengendali waktu dan nasib. Merekalah yang habis-habisan mengejek manusia. Kadang mereka sering berlaku tak adil. Mereka memilih mendekap untuk mendekap si jahat ambisius, menyelamatkannya dari mara bahaya. Mungkin semacam hadiah dari keambiusannya.
Kata orang harta, tahta, dan wanita adalah kelemahan terbesar seorang pria, begitu pun kisah Tom Hewett, juga pasangan kakak beradik Ian dan Terry. Mereka semua adalah orang-orang muda yang tampan dan ambisius. Tom berhasil mencapai kesuksesannya dengan memanfaatkan setiap peluang yang berada dihadapannya, termasuk dengan memacari dan menikahi Chloe putri seorang kaya. Apa lacur! Tom ternyata menginginkan sosok wanita lain untuk memenuhi hasrat terliarnya. Sedangkan Ian dan Terry adalah dua saudara yang sedang membutuhkan uang. Mereka memutuskan untuk menerima pekerjaan dari pamannya yaitu membunuh.
Ketika semua rencana tampak berjalan mulus dan lancar, nasib mulai bertingkah untuk mempermainkan hidup manusia. Tanpa dinyana-nyana kekasih Tom, Nola Rice hamil dan Terry tak kuat menahan rasa bersalah setelah melakukan pembunuhan. Maka, rencana-rencana baru harus dibuat agar segalanya tetap berjalan lancar.
Namun, secermat-cermat manusia menyusun rencana, nasib jua lah yang akhirnya mengetuk palu terakhir. Pada point inilah kejeniusan Woody Allen terasa kental. Melalui karyanya, dia mampu mengaduk-aduk semua kemungkinan yang dapat terjadi dalam hidup dan juga dalam kepala audience, yang menjadi tidak adil apabila saya ceritakan disini.
Manusia tidak akan pernah tahu kapan nasib akan berada di sisi mereka atau kapan nasib akan mengejek dan mengerjai mereka habis-habisan dan manusia sesungguhnya tidak mempunyai kekuatan—dilihat dari sebuah sudut pandang—untuk mengontrol nasib. Mungkin itulah yang coba ditampilkan Woody Allen dalam dua filmnya (Match Point dan Cassandra’s Dream) yang terasa sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena sebuah film dapat adalah cermin dari kehidupan nyata. Well! That’s life.
Sebagai catatan nama Cassandra judul film dan nama perahu Cassandra’s Dream mengacu pada nama seorang peramal dalam mitologi Yunani (maybe) yang memprediksikan mimpi-mimpi buruk. Menarik bukan?

THE JOKER



Perkenalkan seniman dan maestro dari Gotham City. Bukan Bruce Wayne atau Batman, melainkan sang Joker. Memang sedikit susah untuk menilai karakter sang Joker ini karena batasan yang diciptakan antara jenius dan psyco sangat lah tipis. Joker tidak ditampilkan sebagai seorang pembantai sadis yang gila harta dan kekuasaan. Joker adalah seorang karakter yang jenius yang merencanakan segala macam rencananya dengan benar-benar matang. Seolah kejeniusannya tak pernah habis, saat sebuah rencana gagal, sudah ada rencana lain yang tak kalah jenius untuk menggantikan rencana lainnya.
Bisa jadi Joker membaca Nietsche karena konsep yang dia anut adalah nihilisme. Joker tak butuh uang banyak. Joker hanya butuh tempat dan kawan “bermain”. Dia butuh Gotham untuk menjalankan rencana-rencananya seperti dia membutuhkan Batman. Batman menjadikannya penuh dan tanpa Batman dia tak akan pernah ada sebagai Joker. Pandangan hidupnya yang selalu ingin bermain tercermin dari kata-kata favoritnya; why so serious! Mungkin pandangan ini yang membuat Joker menjadi benar-benar jenius, menjadi benar-benar berbahaya. Pandangan ini menihilkan rasa takut, dosa, yang berarti juga siap melakukan apa aja dalam wujud yang paling ekstrem dan menganggap bahwa nasib atau fate harus benar-benar tunduk di bawah kakinya.
Sang maestro yang mungkin adalah guru besar kejahatan, dikaruniai otak yang sangat cerdas. Kejeniusannya yang paling berbahaya adalah kemampuannya untuk meneropong psikologi manusia dan membangkitkan bibit kejahatan yang dipunyai manusia. Kemampuannya yang ini mampu merongrong dan memberangus kemanusiaan manusia dan mengubahnya menjadi sisi kebinatangan. Bagi Joker manusia adalah binatang yang berjalan tegak yang nalurinya adalah saling membantai; homo homini lupus.
Joker yang seperti ini hanya bisa dilihat dalam film Dark Knight. Menurut saya, film ini adalah film Batman terbaik yang pernah dibuat. Mengapa? Karena film ini adalah film tentang pahlawan yang sekaligus mempertanyakan konsep kepahlawanan itu sendiri. Dalam film ini Batman diseret kepinggiran dan diposisikan sebagai villain bukan superhero, sama seperti Joker. Batman yang villain, yang dipotret dari sudut pandang yang lebih manusiawi.

Selasa, 29 Juli 2008

Rampung

Akhirnya khatam juga dengan Pamuknya, Puzonya, tapi Mangun Wijayanya belum

Oktari

Salah satu hal yang paling membahagiakan ku adalah saat memimpikan gadisku tersenyum padaku. Senyumnya luar biasa manis. Senyumnya mengajakku untuk kembali merindukannya.

Segera saja aku jadi rindu dengan kota W di daerah J, tempat dimana aku bersua dengannya. Ingin aku kembali kesana, melabuhkan segala cinta.

Namun, yang terucap adalah kata maaf untuk cinta yang baru belajar, cinta yang terlampau sederhana, cinta yang terlampau kecil untuk dapat mencintainya. Cintanya seperti senyum.

Ah Oktari…
Kutitipkan ciumku pada sang angin.

Ngarit Buku

Hari kemarin, sekarang, dan esok, aku masih akan mencuri buku. Salah sendiri, kau begitu mahal, malahan mau naik 60 %. Sudah untung aku mau mencurimu, itu berarti aku masih ingin membacai halaman-halaman mu. Kau itu terlampau sombong, sudah tahu jarang yang cinta pada dirimu malah mahal betul hargamu. Kau itu barang tersier, hanya orang-orang kaya saja yang dapat menikmati dirimu.

Bukannya aku tak cinta pada dirimu, malah aku telah jatuh hati. Hanya saja aku belum mampu untuk menggantimu dengan sesuap nasi. Perut masih tetap prioritasku yang nomor satu. Kau tak sepenting itu, tau!

Dan, yang menjadi penyebab generasiku menjadi generasi bodoh yang tak melek ilmu, ternyata adalah kau. Ya kau! Salah sendiri kau begitu mahal!

Sudahlah, tak perlu lagi kau banyak betingkah. Cukup diam dan pasrah saja saat aku mengambilmu. Maka, ijinkan aku mencurimu!

Pendidikan dan Kesehatan Gratis!

Abis nonton filmnya Michael Moore yang Sicko, ternyata cita-cita pendidikan dan kesehatan gratis di Indonesia bukan utopia. Hanya saja beranikah pemerintah?

Nike dan Sponsorship

Ini berita basi bukan berita baru kalau timnas mendapat sponsor apparel dari Nike. Setidaknya ada yang bisa dibanggakan dari timnas walau prestasinya masih ngos-ngosan.

Tapi, apa yang ada di dalam benak mereka, dan apakah mereka masih bisa berbangga diri bila mengetahui bahwa apparel yang mereka kenakan adalah hasil jerih payah saudara-saudara mereka yang bekerja dengan upah minimum yang tak layak, dengan kondisi lingkungan kerja yang tak nyaman, dan beberapa dari saudara-saudara mereka bahkan masih di bawah umur? Dengan kata lain masihkah mereka bisa berbangga jika yang mereka kenakan adalah hasil dari penghisapan dan eksploitasi saudara-saudara mereka?

Sepak Bola Dendam

Apakah kata memprihatinkan seperti yang sering digunakan oleh para komentator olahraga terkemuka cukup untuk menggambarkan kondisi persepakbolaan Indonesia saat ini? Apakah sepakbola yang menjunjung tinggi sportifitas telah berubah menjadi ajang pelampiasan dendam karena beban hidup yang semakin menghimpit?

Beberapa waktu yang lalu di liga medco salah satu kontingen ramai-ramai menghajar wasit yang dituding berat sebelah, padahal mereka adalah anak-anak muda yang baru berusia di bawah 15 tahun. Baru-baru ini, wasit juga turut menjadi korban amuk pemain dari salah satu kontingen PON.

Pasal hajar menghajar wasit ini bukanlah sebuah persoalan baru, namun pelaku dan korbannya seperti tak pernah jera untuk menghajar dan dihajar.

Sistem persepak bolaan kita memang ruwet, tak bisa dibandingkan dengan Liga Inggris contohnya. Di sini, sepakbola baru menjadi sekedar hobi, belum industri. Sistem yang mendukung pun sistem hobi suka-suka saja. Karena sistem yang suka-suka itulah para pelakunya menjadi semena-mena.

Negeri ini mengidap virus instanisme. Sukanya yang serba cepat dan praktis. Tim mau juara solusinya asal main kirim ke luar negeri. Padahal cara ini mendapat kritik keras dari Poppe de Hand, pelatih yang berhasil membawa Belanda juara dunia untuk usia U-23. Kalau kita mau jadi juara, lebih baik mempersiapkan tim secara matang baik fisik maupun mental dengan melakukan pembinaan pemain muda yang berkualitas dan memperbanyak kompetisi yang juga berkualitas untuk berbagai kelompok umur. Hal-hal tersebut jauh lebih baik daripada menghambur-hamburkan uang dengan mengirim tim ke luar negeri.

Padahal negeri ini di anugerahi berjuta-juta bibit pemain muda potensial, sayangnya anugerah itu tidak di imbangi dengan pembinaan yang mumpuni. Bayangkan anak usia di bawah 15 sudah berani menghajar wasit, jelas ada yang rusak dalam sistem pembinaan pemain muda. Mungkin sudah saatnya jasa-jasa psikolog mulai diperkenalkan dalam pembinaan pemain agar pemain dapat menjadi sosok yang setidaknya dapat menghargai wasit dan dapat menerima kekalahan.

Jumat, 18 Juli 2008

Kawan Lama, Kawan Baru

Kemarin berkumpul di suatu ruang di bawah jembatan bertemu dengan kawan lama dan kawan baru.

Ada Zaky dan Xavier juga Marie(sorry if i misstype your name) dari LIP dan Mbak Reni dari Garasi.

Melebarkan sayap hati dengan lima huruf.

Selamat datang dalam dunia kecil yang penuh makna, kawan.

Be Kind, Rewind



Wehehehei, Jack Black memang gila!!

Nonton ni film karena temenku dari Prancis bilang "it is nice" jadi ya coba aja nonton.

Film yang salah satu pemeran utamanya Jack Black bertutur tentang "kehidupan" di sebuah rental video (VHS). Suatu saat si pemilik rental harus berpergian demi menyelamatkan toko rentalnya yang akan digusur. Dia lantas menitipkan tokonya kepada anaknya, Mike. Namun bencana terjadi saat sahabat Mike, Jerry (Black), yang "terkontaminasi" arus listrik berubah menjadi magnet berjalan dan menghapus semua film yang ada di kaset video. Mereka berdua lalu berusaha membuat ulang film-film tersebut dengan gaya mereka sendiri.

Film ni tipikal filmnya Jack Black yang agak gila-gila gimana gitu. Ancur! Ngakak abis! gENREnya mungkin komedi, tapi bukan sembarang komedi yang disajikan di film ini. Komedinya cenderung cerdas dan berbobot. Lawak dan ancuran-ancuran ala Jack Black di balut dengan pesan-pesan seputar livin' the dreams, trust, juga faith. Asyik punya lah!

Rabu, 16 Juli 2008

mengaji...(meminjam istilah Gus Muh dan Mas Fayyadl

Kemarin-kemarin mencoba kembali mengaji Hatta, Gorky, Ruth Benedict, dan Pamuk. Yang belum kHatam, Pamuk, terlampau mudah terlelap saat mengaji Pamuk yang "Red". Besok-besok mencoba mengaji Marquez, Voltaire, Marx, Dan mungkin Sartre. Semoga bisa menang bergelut! Aaiiaaaa!!!

Selasa, 08 Juli 2008

...

If u understand/ what I feel 4 u
U don’t have 2 worry/ n that things I do
If u reads my mind/ words that I can say
N u know the answer/ the reason why I stay
If u understand/ why the sky get blue
N it is so easy/ 2 b a … two
But it ain’t so much/ that u never know
But I keep on trying/ love can make it grow

mmm... ni adalah sepenggal lirik dari sebuah lagu barat lama. Memang lirik ni ga' lengkap dan aku miss di beberapa bagian. Plus, judulnya aja aku ga' tau. PARAH!!!
Tapi sumpah ni lagu ok punya, jadinya aku tampilin di sini buat inspirasi-inspirasi gila lain yang mo nyelonong lewat.
Butewe, lo da yang tau judulnya yah...

Jika...

jika gadismu…
tak berambut lurus
tak berponi
tak bergaya harajuku
tak berwarna

tak berbaju ketat
tak memakai cardigan
tak mengenakan legging
dan tak ber-hot pants

tak beraroma paris
sialnya bermuka delman
celakanya bermulut besar

masihkah kau mencintainya?

Kurcaci

Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.

Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.

(Joko Pinurbo:1998)

Saat Kehabisan Waktu

Aku benar-benar merasa kesulitan untuk berdamai dengan waktu. Sang waktu menjadi teramat kikir, dia berlari sangat cepat hingga aku kesulitan untuk mengejarnya.

Benar-benar waktu yang ada tidak mencukupi untuk ku bergembira. Membaca buku, menonton film, dan menulis menjadi musuh sang waktu yang teramat hebat. Ia tak memberikan kelonggaran, ia mencekik dengan hebat. Aku kesulitan untuk bernafas.

Waktu berlaku tak adil. Aku iri dengan Will Hunting, Hatta, Rosihan Anwar bahkan dengan sahabatku Unggul. Mereka di cintai waktu. Bukan! Mereka adalah anak-anak sang waktu. Mereka dapat membaca, menulis, dengan keleluasaan yang luar biasa.

Will Hunting membaca buku-buku luar biasa dalam waktu tidurnya. Hatta, mulai jam 8 malam hingga larut malam, menggulati buku-bukunya. Rosihan Anwar melahap 3-4 buku dalam waktu 1 minggu. Dan, Unggul, menghabiskan 500 halaman buku dalam 1 malam.

Wahai sang waktu! Sungguh aku iri dengan mereka! kenapa tak kau jadikan aku buah dari rahimmu? Keparat kau waktu!

Tim Sepak Bola Saya…

Tim sepak bola saya sungguh aneh dan lucu benar. Tim saya ini jarang memperoleh kemenangan saat bertanding. Sebagian besar hasil pertandingannya di akhiri dengan kekalahan atau menerima hasil seri.

Maklumlah, bukannya mencoba mencari-cari alasan untuk kelemahan tim saya, tim saya ini jelas bukan tim professional, kami hanyalah tim “senang-senang”. Bermodalkan semangat baja yang baru saja dilumerkan alias panas membara, kami menyewa salah satu lapangan sepak bola terbaik di kota meski dengan harga yang terasa mencekik saat iuran bulanan tak berjalan seperti yang diharapkan.

Ah! Dasar kawan-kawan…

Komposisi pemain kami juga sangat beragam, ada yang mantan pemain hebat, ada yang sedang bermimpi untuk menjadi pemain hebat, ada juga yang sedang belajar bermain bola, ada juga yang tidak bisa bermain bola tapi tidak sadar. Parah! Yang penting semangat!

Dengan komposisi yang seperti itu, silahkan dibayangkan betapa sulitnya mereguk kemenangan (saat yang hebat melangkah keluar dan yang sedang belajar melangkah masuk). Selain karena keberagaman kemampuan, kami juga memiliki prinsip yang penting semua main untuk merasakan kegetiran kekalahan.
Banyak gunjingan, keluhan, bahkan makian setelah pertandingan, namun kami harus siap menerima kekalahan.

Saking seringnya kalah, tanpa disadari kami menjadi tim yang terpaksa untuk menerima kekalahan dengan hati yang lapang—semoga menjadi terbiasa. Bagi kami, kemenangan, saat itu, bukanlah tujuan utama bermain bola. Perasaan bahagia sang pemenang teratasi dengan perasaan persaudaraan dan rasa saling berbagi sekaligus memiliki yang menyelimuti kami. Asalkan masih bisa bermain bola bersama, saling bersenda gurau, saling mengejek satu sama lain, hati kami masih akan tersenyum bersama-sama, walaupun sekali lagi kami kalah. ‘)

Perasaan peraudaraan dan persahabatan yang mengatasi kemenangan inilah yang tetap berusaha kami pelihara sampai kapanpun.

Namun Sang Maha Adil nampaknya mempunyai rencana yang lain. Setelah berusaha keras selama dua tahun lebih, akhirnya angin kemenangan berhembus juga. Bahkan kami berencana untuk bertarung di kancah kompetisi yang lebih serius. Kami sedang berusaha menciptakan peluang itu. Doakan saja!

Cukup seriusnya! Yah itulah kami!

Akhir kata, dengan sedikit “HAHA” di sana dan “HIHI” di sini, semua permasalahan akan terasa manis dan lucu, seperti arum manis di sekatenan.